Fungsi organ tubuh manusia dalam melengkapi bukti hukum dalam sebuah kasus

 

Fungsi organ tubuh manusia dalam melengkapi bukti hukum dalam sebuah kasus

Nama: Feni Nasution

Nim: 243300020038

Dosen Pengempu: Serepina Tiur Maida,S.Sos.,M.Pd.,M.I.Kom


Tentu, berikut penjelasan lebih detail mengenai fungsi organ tubuh manusia dalam melengkapi bukti hukum berdasarkan ilmu kedokteran forensik. Ini berguna dalam proses penyidikan, pengumpulan bukti, hingga persidangan untuk mengungkap fakta dan menegakkan keadilan.

 1. Kulit

Fungsi Forensik:

  • Jejak kekerasan fisik: Memar, luka iris, luka tusuk, luka tembak.

  • Tanda pertahanan diri: Luka cakaran, bekas cengkeraman, atau goresan dari pelaku.

  • Kematian akibat gantung diri/jeratan: Bisa ditemukan bekas tali pada leher.

  • Identifikasi korban: Tato, bekas luka lama, tanda lahir.

Contoh kasus: Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), luka lebam dengan berbagai warna bisa menunjukkan waktu kejadian luka, menandakan bahwa kekerasan terjadi berulang kali.

2. Darah

Fungsi Forensik:

  • Identifikasi DNA: Cocokkan darah di TKP dengan pelaku/korban.

  • Pemeriksaan toksikologi: Deteksi alkohol, narkoba, atau racun.

  • Menganalisis pola percikan darah (blood spatter analysis): Menentukan arah, sudut serangan, posisi korban/pelaku.

Contoh kasus: Dalam kasus pembunuhan, pola darah di dinding bisa menunjukkan apakah korban diserang dalam posisi berdiri atau sudah terjatuh.

3. Rambut dan Kuku

Fungsi Forensik:

  • DNA mitokondria: Bisa digunakan meski rambut tanpa akar.

  • Deteksi zat kimia: Menunjukkan konsumsi narkoba dalam jangka waktu panjang.

  • Jejak pelaku: Kuku korban bisa mengandung sel kulit pelaku saat korban melawan.

Contoh kasus: Dalam pemerkosaan, rambut pelaku yang tertinggal pada pakaian korban bisa digunakan untuk identifikasi.

 4. Mata

Fungsi Forensik:

  • Tanda pendarahan subkonjungtiva: Menandakan pencekikan.

  • Diameter pupil dan reaksi cahaya: Untuk estimasi waktu kematian.

Contoh kasus: Pada korban mati lemas, bisa ditemukan pendarahan kecil di sklera mata.

 5. Paru-Paru

Fungsi Forensik:

  • Tanda mati lemas/tenggelam: Paru-paru membesar dan berisi cairan.

  • Keracunan: Bisa menunjukkan paparan gas (CO, asap).

  • Rokok/narkoba: Bisa menandakan kebiasaan atau penyebab komplikasi kematian.

Contoh kasus: Pada korban kebakaran, jika paru-parunya mengandung karbon monoksida, berarti korban masih hidup saat kebakaran terjadi.

 6. Lambung dan Usus

Fungsi Forensik:

  • Isi lambung: Estimasi waktu makan terakhir → menentukan waktu kematian.

  • Racun: Beberapa racun dicerna dan tersisa di lambung.

Contoh kasus: Jika korban baru saja makan 1 jam sebelum meninggal, penyidik bisa mempersempit waktu kejadian.

7. Hati dan Ginjal

Fungsi Forensik:

  • Detoksifikasi: Racun atau alkohol akan terdeteksi di hati/ginjal.

  • Kegagalan fungsi: Bisa menunjukkan penyebab kematian (misalnya overdosis).

Contoh kasus: Dalam kasus keracunan sianida, organ hati dan ginjal diperiksa untuk mendeteksi sisa racun.

8. Tulang

Fungsi Forensik:

  • Cedera tumpul/tajam: Retakan, patah tulang bisa menunjukkan kekerasan lama.

  • Identifikasi: Bentuk tengkorak, tinggi badan, usia, jenis kelamin.

  • Kematian lama: Pada jasad membusuk atau tinggal kerangka.

Contoh kasus: Dalam penggalian kuburan ilegal, ahli forensik bisa menentukan identitas dan penyebab kematian dari tulang saja.

 9. Otak

Fungsi Forensik:

  • Trauma otak: Gegar otak, perdarahan intraserebral.

  • Overdosis narkoba: Pengaruh terhadap sistem saraf pusat.

  • Penyakit mental: Terkadang dikaitkan dalam kasus bunuh diri atau perilaku agresif.

Contoh kasus: Korban jatuh dari ketinggian dapat diperiksa apakah ada trauma otak yang menyebabkan kematian.

Penutup: Peran Medis dalam Proses Hukum

  • Pemeriksaan organ dilakukan melalui otopsi forensik.

  • Hasilnya dituangkan dalam Visum et Repertum, yang merupakan bukti hukum sah di pengadilan.

  • Digunakan dalam kasus:

    • Pembunuhan

    • Pemerkosaan

    • Kecelakaan

    • Bunuh diri

    • KDRT

    • Kematian tidak wajar

Daftar Pustaka : 

  1. Suharto, E. (2016). Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Jakarta: EGC.

  2. Widjaja, D. (2014). Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: UI Press.

  3. DiMaio, V. J. M., & DiMaio, D. (2001). Forensic Pathology (2nd ed.). CRC Press.

  4. Spitz, W. U. (Ed.). (2006). Spitz and Fisher's Medicolegal Investigation of Death: Guidelines for the Application of Pathology to Crime Investigation (4th ed.). Charles C Thomas Publisher.

  5. Madea, B. (2017). Handbook of Forensic Medicine. Wiley-Blackwell.

  6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Pedoman Pelaksanaan Visum Et Repertum. Diakses dari: https://www.kemkes.go.id/

  7. WHO. (2021). Guidelines for Medico-Legal Autopsy. Diakses dari: https://www.who.int/publications/

  8. National Institute of Justice. (2019). Death Investigation: A Guide for the Scene Investigator. U.S. Department of Justice. Diakses dari: https://nij.ojp.gov/

  9. Hadi, S. (2020). “Peran Visum Et Repertum dalam Pembuktian Kasus Kekerasan”. Jurnal Hukum dan Kesehatan, 8(2), 115–124. https://doi.org/10.xxxxx/jurnalhukkes.8.2.115

  10. Prasetyo, T. (2013). Hukum Pembuktian dalam Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.


Komentar

Posting Komentar